Monthly Archives: Februari 2012

Jawaban MWA Terkait Pilrek

Jumat (24/2) pukul 16.00, Majelis Wali Amanat (MWA) menggelar jumpa pers di ruang sidang MWA. Acara ini digelar untuk menjawab berbagai pertanyaan yang selama ini muncul terkait Pemilihan Rektor (Pilrek) UGM, baik dari kalangan UGM maupun kalangan media.

Prof. Dr. Sofian Effendi, Ketua MWA, membuka jumpa pers dengan menjelaskan persyaratan Pilrek UGM periode 2012-2017. Persyaratan masih sama seperti Pilrek UGM sebelumnya yang diatur dalam Keputusan no. 08/SK/MWA/2007. Hanya saja ada persyaratan tambahan sesuai Keputusan no. 01/SK/MWA/2012. Rektor terpilih harus pernah menduduki jabatan pimpinan dalam perguruan tinggi atau jabatan yang setara sekurang-kurangnya tiga tahun.

Kemudian, ia menguraikan rangkaian jadwal kegiatan Pilrek UGM. Jadwal itu dimulai dari persiapan Panitia Ad Hocpada 13 Februari 2012 hingga penetapan rektor terpilih oleh Menteri Pendidikan pada 26 Maret 2012. Sampai saat ini, tahapan Pilrek UGM sudah memasuki tahap pendaftaran penjaringan daftar bakal calon. Namun, belum ada satu pun nama yang mendaftar ke MWA. “Ya, biasanya nanti kan detik-detik akhir baru ramai,” ucap Sofian. Dalam tahap pemilihan lima bakal calon rektor dan tahap pemilihan tiga calon rektor nantinya akan disiarkan di Balairung UGM melalui tayangan proyektor dan secara live streaming. Ini dilakukan sebagai transparansi Pilrek UGM kepada masyarakat umum dan media. Setelah Sofian mengakhiri penjelasannya, beberapa media secara bergantian mengajukan pertanyaan.

Pertanyaan yang cukup dominan adalah mengenai adanya pembatasan umur rektor terpilih. Menurut persyaratan, rektor terpilih harus berusia tidak lebih dari 60 tahun saat dilantik. Pembatasan ini dianggap beberapa kalangan menyalahi Pasal 19 Peraturan Pemerintah (PP) no. 153 tahun 2000 yang tidak mengatur syarat umur. Sofian menerangkan, persyaratan tambahan itu dimunculkan sebagai interpretasi kembalinya bentuk badan hukum UGM dari Badan Hukum Milik Negara (BHMN) menjadi Badan Layanan Umum (BLU). Dalam ketentuan tersebut, diatur rektor yang menjabat harus PNS yang aktif hingga akhir masa jabatannya. Melalui ketentuan itulah MWA berinisiatif untuk membatasi syarat umur agar rektor terpilih nantinya tidak pensiun saat menjabat sebagai rektor. Jika rektor pensiun di tengah masa jabatannya, UGM akan mengalami kekosongan kekuasaan.

Sofian menambahkan, kekosongan kekuasaan berpotensi terjadi pada rektor periode sekarang. Masa jabatan rektor UGM saat ini berakhir pada 28 Mei 2012 padahal Prof. Ir. Sudjarwadi, M. Eng, Ph.D, rektor UGM saat ini, akan pensiun pada 1 April 2012. Agar tidak terjadi  kekosongan jabatan, MWA akan mengusulkan rektor terpilih untuk dilantik menteri pada 26 Maret 2012. “Jadi rencana sebelum rektor sekarang pensiun, sudah ada rektor terpilih untuk diajukan ke menteri,” ucapnya.

Pertanyaan lain yang diajukan mengenai minimnya partisipasi mahasiswa dalam MWA dan dominasi suara menteri dalam Pilrek yang mencapai 35%. Berdasarkan penjelasan Sofian, mahasiswa sudah dilibatkan dalam Pilrek dan memiliki dua perwakilan di dalam MWA. Untuk besarnya suara menteri, ia menilai itu hal yang wajar sebab UGM adalah milik negara dan menteri disini adalah wakil negara. “Itu sudah demokratis, kalau tidak seharusnya 100% suara ada di tangan menteri karena UGM 100% milik negara,” tuturnya.

Acara pun ditutup dengan pertanyaan mengenai tuntutan mahasiswa agar MWA menjadwalkan debat terbuka bakal calon rektor di depan mahasiswa. Dalam hal ini, MWA tidak bisa mengabulkan karena jadwal kegiatan MWA sudah fixdan tidak dapat diubah-ubah lagi. Akan tetapi, MWA akan mendukung jika mahasiswa tetap mengadakan debat terbuka atas inisiatif sendiri demi terpilihnya rektor yang sesuai keinginan mahasiswa. Mengenai waktu penyelenggaraannya bisa pada waktu kosong di sela-sela jadwal yang sudah dibuat MWA. “Ya pasti sebisa mungkin kan kita juga berharap rektor UGM terpilih nantinya bisa sesuai harapan semua kalangan,” tutup Sofian mengakhiri jumpa pers sore itu.

(sumber asli: http://www.balairungpress.com/2012/02/jawaban-mwa-terkait-pilrek/)


Curcol Mahasiswa untuk Rektor UGM

oleh : Adinda Ajitya Ferina, staff AdvoPro BEM KMFT UGM

 

Sudah jadi rahasia umum  kan kalau sering kali terjadi pertentangan antara pihak mahasiswa dengan pihak rektorat. Terutama tentang kebijakan yang dianggap merugikan pihak-pihak tertentu, apalagi dari pihak mahasiswa itu sendiri. Penyebab ini semua secara sederhananya adalah perbedaan idealisme. Namun, ternyata semuanya yang terjadi antara rektor dengan mahasiswa tidaklah sesederhana kedua kata itu, PERBEDAAN IDEALISME. Imbas yang terjadi ternyata lebih dari sekedar yang terlihat.

Pada tulisan ini aku sama sekali tidak berminat menjatuhkan pihak manapun, hanya mencoba mengkaji hasil perbincangan dengan sesama mahasiswa. Sebagai mahasiswa, aku mengakui kadangkala ada kesalahan pengambilan kesimpulan dari kebijakan yang keluar dari rektorat dan masih ada sikap egoisme yang terlihat dari tindakan-tindakan yang diambil oleh pihak mahasiswa. Mahasiswa tidak selalu benar dan rektor tidak selalu mengerti mahasiswa. Aku rasa itu yang terjadi selama ini.

Permasalahan paling dasar yang menjadi pertentangan adalah masalah transparansi rektorat terhadap mahasiswa ataupun masyarakat. Tranparansi apa sih emangnya? Banyak hal ternyata. Salah satunya adalah masalah keuangan. Duit lagi.. duit lagi… heran ya kalo ngomongin duit nggak akan ada abisnya. Pembongkaran BPK atas keuangan UGM jadi salah satu bukti jelas hasil dari ketidaktransparannya. Berapa banyak yang diselewengkan sampai begitu banyaknya akun rekening bank, baik atasnama institusi maupun perseorangan, merupakan bukti  begitu berantakannya keuangan UGM. Ckckckkkk… siapa sih yang megang keuangannya? Berasa banyak orang pinter yang nggak digunain ilmunya, kalo caranya gini. Mubadzir tau, punya ilmu nggak dipake… hehehee

Transparansi keuangan ini juga dapat kita kaitkan dengan masalah beasiswa bagi mahasiswa kurang mampu di UGM ini. Penerima beasiswa BPUTM dialihkan atau diajukan untuk menerima beasiswa bidik misi yang notabene adalah beasiswa yang berasal dari pemerintah. Lalu, kemana perginya dana beasiswa BPUTM??? Ada dua kejadian yang terdengar. Pertama, ada pembayaran ganda dari mahasiswa penerima beasiswa ini, dengan artian mereka menerima kedua beasiswa tersebut sekaligus. Kedua, penerima BPUTM dialihkan menjadi penerima beasiswa bidik misi yang ini meninggalkan kesan bahwa UGM berusaha untuk lepas tangan dari tanggung jawab untuk pemberian beasiswa bagi mahasiswa kurang mampu. Entah mana yang benar, yang benar adalah tidak adanya tranparansi keuangan. Hehehee…

Transparansi ternyata juga harus dilakukan dalam masalah pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh rektorat. Untuk apa???  Tentunya untuk membuat mahasiswa mengerti  tujuan dari pengambilan kebijakan tersebut. Dengan ini pula rektorat dapat mengetahui tanggapan mahasiswa tentang kebijakan sebelum adanya aksi demo atau turun ke jalan. Bukannya lebih enak kalau diomongin baik-baik?? Jadi nggak perlu ribut-ribut dulu macam kasus pemberhentian ekstensi di sekolah vokasi.

Apa yang sebenarnya terjadi dengan sekolah vokasi??? Pemberhentian pemberian ekstensi ternyata menyulut aksi mahasiswa yang menjadi perhatian publik. Hal ini meninggalkan kesan pihak universitas mengingkari janji yang mereka berikan ketika mahasiswa SV masuk, yaitu hak ekstensi dengan persyaratan tertentu seperti batasan nilai atau IPK. Penyelesaian masalah yang pada awalnya terkesan tidak digubris oleh pihak rektorat, telah membuat mahasiswa melakukan aksi pengepungan rektorat. Sampai ada tenda-tendanya segala lho… bener-bener pendudukan rektorat. Masalah ini sempat berlarut-larut dan rektorat meminta waktu untuk mengkaji masalah ini lagi. Namun, sampai sekarang belum ada kelanjutan dari masalah ini. Entah pihak mahasiswa SV tidak memberi kabar kepada kami atau keputusan pihak rektorat memang tidak dipublikasikan untuk umum, dengan artinya hanya untuk kedua belah pihak saja. Seharusnya transparansi rektorat, yang sayangnya belum terlaksana, dalam pengambilan kebijakan ini bisa mengurangi dampak ketidakpuasan mahasiswa. Apalagi masih banyak jalan keluar tanpa harus menghapuskan ekstensi yang telah dijanjikan pihak universitas saat mahasiswa SV ini masuk menjadi bagian UGM. Terkesan penghilangan hak ya…

Contoh lain lagi adalah masalah KIK. Mungkin tujuan yang dimaksudkan oleh rektorat itu baik, tapi tidak adanya pemahaman dalam mengelola mahasiswa terutama gerakan mahasiswa telah membuat komunikasi yang ada antara mahasiswa dan rektorat menjadi memanas. Santai ngapa??? Hhuuhh… Penggunaan KIK ini ternyata dianggap telah mempersulit akses beberapa kendaraan untuk melintasi wilayah UGM. Ditambah lagi penarikan uang untuk kendaraan tanpa KIK ketika meninggalkan wilayah UGM. Kemana larinya dana yang terkumpul itu?? Ke kantong si penjaga atau ke kantong UGM yang telah terbukti carut-marut itu??? Ckckckkk…

Pengejaran Status World Class Research University (WCRU) juga menghadapi tanggapan miris mahasiswa. Ada dosen yang malah dengan asyiknya melakukan riset dan proyek miliknya demi terwujudnya status ini, tapi sering meninggal kelas yang berarti meninggalkan kewajiban utama untuk berbagi ilmu dengan kami, mahasiswa UGM. Belum lagi kampus educopolish yang mulai tercipta di lingkungan UGM ini. “Wuuiihh ngapain nih ada mall di tengah-tengah kampus???” lelucon yang benar-benar terjadi saat melihat gedung salah satu fakultas di UGM… hahahaa

Dengan melihat banyaknya kejadian-kejadian yang tidak mengenakkan pada masa kepemimpinan rektor Prof.Ir. Sudjarwadi, M.Eng., Ph.D.  Seharusnya kita menjadi lebih paham betapa pentingnya pemilihan rektor yang sedang kita hadapi saat ini. Pemilihan dan pengangkatan Pak Sudjarwadi yang dipertanyakan pada masa-masa awal kepemimpinannya, telah ditutup dengan kejadian terbongkarnya dosa-dosa pengambil kebijakan ini. Semua imbas kesalahan pengambilan jalan kebijakannya sudah kita rasakan sendiri sebagai mahasiswa UGM.

Sebelum semuanya terlanjur terulang kembali, ayo kita kawal pemilihan rektor saat ini. Agar menjadi pemilihan yang bersih dan tanpa kepentingan pribadi maupun kepentingan golongan, tapi kepentingan kita bersama sebagai keluarga besar Universitas Gajah Mada.

Hidup Mahasiswa Indonesia !!!!


Coreng di Wajah Pak Sudjarwadi

oleh: Wardahtuljannah (Staf Advokasi dan Propaganda BEM KM Teknik)

Tanggal 28 Mei 2012 mendatang adalah hari di mana berakhirnya masa jabatan Rektor UGM periode 2007-2012, Prof.Ir. Sudjarwadi, M.Eng., Ph.D.. Beragam hal terlewati selama lima tahun masa kepemimpinan Pak Sudjarwadi sebagai Rektor UGM. Dan tentu saja beragam kebijakan-kebijakan baru diterapkan.

Masa kepemimpinan Pak Sudjarwadi diwarnai bermacam-macam hal, mulai dari juara umum berturut-turut UGM di PIMNAS tahun 2010 dan 2011 hingga citra ekskusif yang ditampilkan UGM dengan pemberlakuan KIK dan pentupan beberapa akses masuk–dan pembangunan portal gate. Berbicara mengenai kebaikan dan kebanggan yang ditorehkan atas nama UGM di mata Indonesia dan Dunia bukan hal sulit. Pak Sudjarwadi telah merangkum pencapaian-pencapaian yang berhasil diraih di masa kepemimpinannya dalam Laporan Rektor UGM 2011 pada Dies Natalis UGM ke-62 pada 19 Desember silam.

Namun, selain dari pencapaian luar biasa UGM pada periode ini, ada banyak hal yang harus disikapi dan dikaji lagi sebagai pembelajaran menyambut PILREK mendatang. Manusia membentuk serta menghasilkan sejarah dan bersamaan dengan itu ia dibentuk dan dipengaruhi oleh sejarah (Bertens, 1987; 200).

  1. Transparasi Keuangan yang Masih Gelap. Hal ini terbukti dari temuan 9 kasus oleh BPK seperti yang tertulis di web Balairung ini. Surat tertanggal 30 Desember dengan No:42/S/VIII/12/2011 yang berisi audit BPK tentang proyek-proyek dan pengadaan barang serta jasa UGM pada anggaran dana 2008-2010. Sembilan temuan BPK dalam anggaran dana UGM ini bisa dibaca di sini; yang antara lain adalah proyek Rumah Sakit Akademik (RSA), pembangunan gedung Fisipol, pengelolaan rekening, dan lain sebagainya. Kejanggalan-kejanggalan yang ditemukan BPK pada anggaran dana UGM ini menjadi catatan besar dalam penutupan masa jabatan Pak Sudjarwadi. Keterbukaan dan transparasi yang diharapkan masih belum jelas hingga saat ini. Label Universitas Kerakyatan jadi dipertanyakan jika penggunaan uang rakyat disalahgunakan oleh pemangku jabatan di UGM. Dan jelas Pimpinan Universitas harus memberikan klarifikasi yang memuaskan semua pihak atas persoalan ini segera.
  2. Peniadaan Alih Jalur untuk Mahasiswa D3. Peniadaan alih jalur atau ekstensi sejak tahun 2009 ini beralasan keinginan UGM untuk menjadi World Class Research University (WCRU) di mana tidak ada lagi mahasiswa setingkat diploma. (Lebih lengkap baca di sini) Namun yang jadi pertanyaan berikutnya adalah mengapa penerimaan mahasiswa D3 masih dibuka? Bahkan nyatanya mahasiswa D3 harus membayar lebih mahal daripada mahasiswa S1 padahal fasilitas yang diterima tidak juga lebih baik. Berbagai aksi dan tuntutan telah dilancarkan mahasiswa Vokasi. Aksi di bulan Desember silam di Gedung Rektorat bahkan berakhir tragedi karena Rektorat tak acuh. Rapat Pleno tanggal 7 Desember silam memang menghasilkan dua poin penting, namun tuntutan pembukaan alih jalur ke tingkat S1 tetap tidak dikabulkan. Aksi yang dilakukan lagi oleh mahasiswa Vokasi pada tanggal 13 Januari silam juga belum mendapatkan keputusan yang pasti dari pihak Rektorat. Pihak Rektorat hanya menjanjikan akan ada Rapat Pleno lagi pada bulan Februari ini. Dan mahasiswa Vokasi tetap akan memperjuangkan tuntutan mereka agar alih jalur dibuka jika hasil Rapat tidak memuaskan. Peniadaan alih jalur ini memang hanya berdampak pada mahasiswa D3, tetapi ini jelas bukan hanya masalah mereka. Jangan tutup matamu dan bersikap apatis! Bukankah keberadaan Sekolah Vokasi anomali jika UGM serius ingin menjadi WCRU?
  3. Penetapan Biaya SPMA yang Berdasarkan Gaji Orang Tua. Mungkin hal ini terdengar biasa saja dan wajar, namun jika penetapan biaya SPMA hanya melihat gaji dan tidak memperhatikan aspek lain (seperti jumlah tanggungan orang tua) untuk angkatan 2011/2012 jelas saja tidak masuk akal. Berdasarkan polling yang dilakukan  Divisi Riset BPPM Balairung atas penetapan SPMA ini didapatkan 91% suara merasa penetapan ini tidak adil. Peningkatan mutu pendidikan memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit, tetapi peningkatan mutu jelas berbeda dengan membuang keadilan. Belum lagi SPMA tersebut harus dilunasi dalam rentang waktu yang singkat. Banyak orang tua yang keberatan dan datang secara pribadi untuk meminta keringanan, sedangkan banyak juga mahasiswa yang meminta keringanan lewat jalur Advokasi BEM KM UGM. Ironisnya kebanyakan mahasiswa baru tidak mengetahui ada kemungkinan keringanan SPMA karena baik di web resmi UGM maupun DAA tidak tercantum program tersebut. Apakah ini sebuah kesengajaan ataukan ada konspirasi di balik pintu? Wallahu a’lam. Namun, jika terus berlanjut seperti ini,apakah UGM masih layak disebut Universitas Kerakyatan?
  4. Pengalihan Beasiswa PBUTM ke Bidik Misi. Tahun 2010 silam, UGM menyalahi aturannya sendiri dengan menawarkan beasiswa Bidik Misi kepada penerima beasiswa PBUTM. Cerita yang dibagikan oleh Mas Riva, Kadep AdvoPro BEM KMFT 2010, para penerima beasiswa PBUTM ini menerima beasiswa dobel sehingga mengurangi jumlah penerima beasiswa yang seharsunya. Kedua beasiswa ini sama-sama membebaskan penerima beasiswa dari semua biaya pendidikan, plus memberikan uang saku bulanan. Para peserta beasiswa PBUTM ini jelas saja tidak memahami karena Bidik Misi masih baru, sehingga mereka menurut saja ketika ditawari Bidik Misi. Yang menjadi pertanyaan adalah ke mana larinya dana PBUTM jika para pesertanya mendapatkan dana pemerintah lewat Bidik Misi? Di mana subsidi silang yang diterapkan dengan pemberian beasiswa PBUTM ini? UGM menjilat ludahnya sendiri dengan membiarkan peserta yang sama mendapatkan dua beasiswa, yang berakibat jumlah penerima beasiswa lebih sedikit dariseharusnya. Transparasi dana UGM patut dipertanyakan.
  5. Pemberlakukan KIK. Demi menciptakan kampus educopolis, pihak Rektorat menutup beberapa akses masuk UGM dan memberlakukan penarikan disinsentif serta memberlakukan KIK (Kartu Identitas Kendaraan). Kendaraan bermotor (motor, mobil, bus, hingga truk) diwajibkan membayar disinsentif yang sesuai jenis kendaraannya jika tidak memiliki KIK. Pemberlakukan ini menyebabkan ketidaknyamanan bagi mahasiswa karena sering terjadi kemacetan jika ingin masuk wilayah kampus UGM harus berhenti untuk mengantri (bagi yang tidak memiliki KIK) atau menunjukan KIK kepada petugas SKKK (Satuan Keamanan dan Ketertiban Kampus). 89,76% responden menyatakan penerapan kebijakan ini mempersulit akses masuk UGM menurut polling Divisi Riset Balairung. Citra eksklusif juga tercipta sejak penerapan kebijakan ini. Karena, UGM yang dulunya bisa diakses masuk oleh siapa saja sekarang menjadi sulit dengan ditutupnya bebarapa jalur dan penarikan disinsentif. Pemberlakukan ini menciptakan dilema, wilayah kampus UGM lebih bebas polusi (meski polusi pindah ke tempat lain) dan lebih nyaman serta kondusif seperti yang diharapkan pihak Rektorat karena jumlah kendaraan bermotor yang masuk berkurang. Namun di sisi lain masyarakat jadi tidak bisa memasuki wilayah UGM dengan bebas dan bahkan terdapat wacana komersialisasi kampus di kalangan mahasiswa karena untuk masuk UGM harus membayar. Selain itu, satu hal yang lagi-lagi menjadi pertanyaan adalah ke mana penarikan disinsentif atas karcis berbayar yang diberlakukan pada kendaraan tanpa KIK? Memang, sekali lagi transparasi dana yang satu ini juga masih dipertanyakan. Sampai saat ini kebijakan pemberlakukan KIK memang masih tidak jelas.

Masih banyak kebijakan serta coreng yang menemani masa jabatan Pak Sudjarwadi selama lima tahun ini. Dan kebijakan-kebijakan Rektor ini membawa imbas bukan hanya bagi mahasiswa, melainkan bagi masyarakat umum (cek berita satu ini) juga. Pihak Rektorat sendiri terlalu sering bersikap tak acuh dan menutup mata dan hanya memberikan janji semata atas tuntutan yang diberikan mahasiswa. Padahal kebijakan itu lebih banyak mempengaruhi mahasiswa daripada pihak lainnya.

Menyambut akhir masa jabatan Pak Sudjarwadi, mahasiswa harus gencar mengawal MWA  (Majelis Wali Amanat) dalam PILREK untuk menentukan Rektor selanjutnya untuk meminimalisir kebijakan-kebijakan yang merugikan mahasiswa dan masyarakat umum. Salah memilih akan berakibat fatal untuk lima tahun ke depan. Mahasiswaharus tahu proses pemilihan Rektor baru seperti apa nantinya. Tentu saja kita tidak mau Rektor yang terpilih adalah orang yang tidak berpihak kepada mahasiswa dan tidak merakyat, bukan?

Buka mata dan pasang telinga! Sekarang bukan saatnya untuk bersikap apatis dan tidak peduli. Rektor UGM–dan kebijakannya–akan mempengaruhi setiap sendi kehidupan kita. Mahasiswa adalah refleksi masa depan Indonesia, maka bergeraklah! Karena diam adalah pengkhianatan.

Hidup Mahasiswa Indonesia!

(Sumber asli: http://sepuluhpotongcokelat.wordpress.com/2012/02/24/coreng-di-wajah-pak-sudjarwadi/)


Kado BPK untuk UGM

Oleh: Fariz Fachryan (Pegiat BPPM Balairung UGM)

“Keberhasilan birokrasi dalam menjalankan kebijakan yang tranparan dan akuntabel akan sangat menentukan terciptanya tata kelola pemerintah yang baik (good university governance)” —Andreas H. Pareira

Di akhir Tahun 2011, masyarakat Jogja dikejutkan atas 9 temuan audit  Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)  terhadap pengadaan barang dan jasa  UGM pada tahun anggaran 2008, 2009, dan 2010 . Muka cemong UGM tentang proyek-proyek dan pengelolaan keuangan tergambar melalui surat tertanggal 30 Desember 2011 dengan No:42/S/VIII/12/2011 mengenai audit BPK. Surat itulah yang  membuka mata masyarakat bagaimana pengelolaan proyek dan rekening di UGM.  Karut-marut tergambar di semua aspek pengelolaan keuangan. Transparansi anggaran yang masih tertutup mengenai keuangan UGM menjadi sebab munculnya permasalahan ini. Masyarakat pun akhirnya minim pengawasan karena transparansi UGM yang jauh dari ideal.

Walaupun Undang-Undang No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) sudah disahkan. Namun, di UGM sendiri untuk mengakses pengelolaan keuangan dan proyek di UGM bukanlah perkara yang mudah. Walau sering meneriakan universitas riset skala dunia, namun untuk informasi data keuangan UGM masihlah gelap. Bahkan, kesimpulan dan rekomendasi terhadap 9 temuan BPK sebenarnya ada 15 temuan. Kesimpulan yang direkomendasikan BPK diantaranya adalah proyek Rumah Sakit Akademik (RSA), pembangunan gedung Fisipol, pengelolaan keuangan dan rekening, dll.

Dalam surat rekomendasi BPK, penetapan volume pekerjaan RSA UGM tahap II Tahun Ajaran (TA) 2010 tidak berdasarkan data aktual dan gambar yang mengakibatkan kelebihan pembayaran sebesar Rp 479.679.261,00. Permasalahan ini diawali oleh pekerjaan stripping tanah dalam Rancangan Anggaran dan Biaya (RAB) melebihi luas tanah aktual atau gambar rencana. Inilah yang menyebabkan pekerjaan stripping  sisa tanah UGM seluas 31.793 m2 belum dilakukan. Hal tersebut diakibatkan oleh kesalahan konsultan perencana dalam menentukan luas tanah untuk pekerjaan stripping. Dengan demikian, volume pekerjaan stripping dalam Harga Perkiraan Sendiri (HPS) maupun kontrak menjadi terlalu tinggi. Pekerjaan stripping sendiri adalah pembersihan lapisan tanah paling atas yang mengandung humus.

Selain itu, prosedur pengadaan tanah untuk pembangunan RSA UGM dalam temuan BPK  juga tidak sesuai ketentuan. Sesuai kesepakatan dengan warga, warga berhak mendapat ganti rugi sebesar Rp 700.000,00 untuk tanah di Jalan Kabupaten dan sebesar Rp 600.000,00 per muntuk tanah yang di Jalan Proklamasi. Namun, yang menjadi masalah adalah dalam Berita Acara Negoisasi dicantumkan harga sebesar Rp 755.000,00 per muntuk tanah yang terletak di Jalan Kabupaten dan sebesar Rp 650.000,00 per muntuk tanah yang terletak di Jalan Proklamasi. Ada selisih harga sebesar Rp 55.000,00 m2  untuk tanah di Jalan Kabupaten dan Rp 50.000,00 untuk di Jalan Proklamasi. Selisih harga itulah yang  menimbulkan harga pengadaan tanah membengkak sebesar Rp 773.700.000,00 yang digunakan salah satunya untuk membayar jasa makelar.

Poin selanjutnya adalah penilaian BPK terhadap  penyedia jasa pembangunan RSA UGM tahap II TA 2010 yang tidak berdasarkan dokumen lelang. Hal ini mengakibatkan indikasi kerugian keuangan negara sebesar Rp 22.846.000.000,00. Pada TA 2010, diketahui bahwa UGM mendapat alokasi dana Daftar Isian Pelaksanaa Anggaran (DIPA) APBNP sebesar Rp 120.000.000.000,00. Melalui sistem nilai (merit point system) terpilihlah PT Adhi Karya (persero) sebagai pemenang lelang dengan skor 92,09 dan PT Waskita Karya (Perserp) dengan skor 90,80 sebagai cadangan pemenang lelang.

Namun, ternyata sistem penilaian terhadap pemenang tersebut kuranglah objektif. Bukan tanpa alasan, kriteria dan tata cara  penilaian ternyata tidak dituangkan dalam dokumen lelang sehingga berpotensi post bidding . Wawancara tim BPK kepada sekertaris Panitia Pengadaan Jasa Konstruksi tidak dapat menjelaskan mengenai penilaian pemenang proyek karena alasan  lupa. Pemilihan PT adhi Karya sebagai pemenang proyek RSA yang janggal ini tentu harus dikawal. Menurut Indonesian Corruption Watch, PT Adhi Karya adalah perusahaan yang harus diaudit BPK karena diduga keterlibatannya dengan kasus korupsi yang dilakukan  Nazarudin.

Menurut Robert Klitgaard,  hal-hal pendorong munculnya tindakan korupsi adalah monopoli kekuasaan yang ditunjang diskresi otoritas negara atau birokrasi dan pengawasan yang minim. Inilah yang terjadi dalam pengelolaan rekening universitas UGM. Pengawasan yang minim terhadap keuangan universitas menyebabkan banyaknya penyimpangan-penyimpangan yang merugikan keuangan universitas.

Dalam laporan hasil pemeriksaan BPK 9 temuan BPK, pinjaman uang kas yang dilakukan pejabat-pejabat UGM ke universitas tidak disebutkan. Peminjaman yang menyalahi prosedur ini berdampak pada turunnya likuiditas keuangan universitas karena pelunasannya yang berlarut-larut. Sampai dengan per 15 Oktober 2011, peminjaman yang belum dikembalikan oleh pejabat-pejabat UGM sebesar Rp 14.871.752.576,00. Bahkan, karena peminjaman ini, ada potensi kerugian keuangan negara karena utang-utang yang  belum dikembalikan sebesar Rp. 5.008.591.676,00. Peminjaman ini  tentu tidak sesuai dengan Keppres Nomor 42 tahun 2002 tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Pada pasal 12 yang tercantum didalamnya, pelaksanaan APBN didasarkan pada prinsip-prinsip hemat, tidak mewah, efisien dan sesuai dengan kebutuhan teknis yang disyaratkan, efektif, serta terarah dan terkendali sesuai dengan rencana serta fungsi setiap departemen/lembaga. Dalam rekomendasi BPK ke UGM, Wakil Rektor Senior Bidang Administrasi dan/atau Direktur Keuangan harus bertanggung jawab karena mereka lah yang mengotorisasi pinjaman yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Selain itu, pembukaan rekening unit-unit kerja UGM  juga tidak sesuai ketentuan. Keputusan Rektor Universitas Gajah Mada Nomor 13/P/SK/HT/2008 tanggal 2 januari 2008 tentang pengelolaan rekening di UGM menyebutkan bahwa pimpinan unit kerja harus mengajukan izin kepada rektor untuk membuka rekening. Namun, sampai dengan tahun 2010 ternyata ada 727 rekening yang belum berdasarkan izin rektor. Rekening-rekening “liar” ini  pun ditempatkan dalam delapan bank,  yaitu di bank Mandiri, Mandiri Syariah, BNI, BRI, CIMB Niaga, Bukopin, BTN, dan BPD DIY. Perinciannya, ada 568 rekening menggunakan nama satuan kerja dan 159 yang memakai nama pribadi.

Awal sebabnya dikarenakan Standar Operasional dan Prosedur (SOP) mengenai pembukaan dan penutupan rekening belum ditetapkan oleh rektor. Tidak adan izinnya 727 rekening liar ini, mengakibatkan pengendalian keuangan di unit-unit kerja kurang memadai dan berpotensi terjadinya penyalahgunaan keuangan atas pembukaan rekening dengan nama pribadi. Rekening-rekening liar ini pun sudah mulai ditata pihak universitas dengan Surat Edaran WRS AKSM No. 2167/PII/Dir-Keu/2011 tanggal 6 April 2011 tentang penataan rekening yang dijanjikan akan selesai pada akhir tahun 2011.

Kini seluruh masyarakat Jogja menunggu jawaban UGM atas audit BPK. UGM sebagai universitas terbesar di Indonesia memanggul tanggung jawab yang besar terhadap seluruh masyarakat Indonesia. Bagaimana tidak UGM yang meneriakan universitas riset skala dunia ternyata menampakan koreng-korengnya di akhir kepimpinan Sujarwadi. Rektor harus bertanggung jawab atas temuan BPK karena kesalahan perilaku jajaran birokrasi di masa kepemimpinannya. Ia pun dituntut untuk menyelesaikan segala temuan BPK sebelum masa jabatannya berakhir.

Peluit harus  tetap ditiup, pelanggaran harus diberikan sanksi, kebiasaan lama memonopoli data keuangan harus lah dihapus. Kekuasaan tanpa pengawasan jangan dibiarkan.  Menurut Andrew Puddet, Kebanyakan birokrasi lebih senang menjalankan pemerintahan secara diam-diam. Bahkan, birokrasi yang demokratis sekalipun cenderung melakukan sebagian besar urusannya jauh dari pengetahuan publik. Komitmen perang terhadap korupsi harus terus diperjuangkan di semua jajaran birokrasi UGM. Transparansi keuangan kepada publik pun harus didorong agar hal yang sama tidak terulang kembali. Akan terasa omong kosong ketika meneriakan universitas riset skala dunia yang beridentitas kerakyatan, tetapi tidak mampu mempertanggungjawabkannya di hadapan rakyat.

(Sumber asli: http://www.balairungpress.com/2012/02/kado-bpk-untuk-ugm/)


Riset Evaluasi dan Pemilihan Rektor UGM 2012

oleh: Ilma Fistannisa Zette (Staf Kementerian Riset dan Pengembangan BEM KM UGM)

Kualitas kinerja rektor UGM saat ini bila dilihat melalui kacamata para mahasiswa tampaknya masih harus ditingkatkan. Prof. Ir. Sudjarwadi, M. Eng, Phd. dalam masa jabatan 2007-2012 telah memberlakukan kebijakan-kebijakan yang beberapa di antaranya belum terlaksana dengan baik atau bahkan menimbulkan masalah baru.

Hasil riset Evaluasi dan Pemilihan Rektor 2012 yang dilakukan oleh Kementerian Riset dan Pengembangan BEM KM UGM menunjukkan, jumlah responden yang menyatakan kinerja  rektor 2007-2011 “biasa saja” merupakan terbanyak, mencapai 45%, diikuti “cukup baik” sebanyak 33.9% dan “tidak baik” sebanyak 12.2%.

Walaupun demikian, publikasi diri yang dilakukan oleh Prof. Soedjarwadi di kalangan mahasiswa cukup berhasil. Terbukti dari 380 mahasiswa di 18  fakultas di UGM yang menjadi responden riset tersebut, sebanyak 90.4% mengetahui nama rektor saat ini. Sedangkan sisanya menjawab Prof. Koesnadi, Prof. Sofian Effendi, Prof. Ainun Na’im, dan sejumlah responden tidak tahu.

Beberapa kebijakan yang diterapkan dalam lima tahun masa kepemimpinan Prof. Ir. Sudjarwadi, M. Eng, Phd di antaranya adalah KIK (Kartu Identitas Kendaraan), relokasi PKL (Pedagang Kaki Lima), seleksi masuk SNMPTN, alokasi beasiswa, dan transparansi laporan keuangan. Kebijakan paling bermasalah menurut 58% koresponden adalah KIK yang memang menuai banyak protes dari mahasiswa. Mulai dari tulisan-tulisan kritis di berbagai media kampus hingga aksi yang dinamakan “Serangan Umum 30 Maret”. Aksi tersebut ditujukan kepada Rektorat dengan melibatkan 110 mahasiswa dari berbagai macam disiplin ilmu. Hal ini menunjukkan keseriusan mahasiswa UGM dalam mengevaluasi kebijakan rektorat.

Hingga saat ini fungsi dari KIK sendiri belum jelas. Bila dilihat dari aspek keamanan kampus, keberadaan KIK justru meningkatkan risiko curanmor. Sejak diberlakukannya KIK, kasus pencurian motor terjadi di  beberapa fakultas dan hal itu menandakan bahwa menunjukkan KIK kepada petugas saja bukanlah jaminan kepemilikan kendaraan bermotor. Pada kenyataannya, KIK dapat dengan mudah ditiru dan dicetak secara ilegal, bahkan ada yang diperjualbelikan di kalangan mahasiswa. Jika tujuan dibuatnya KIK adalah untuk mengamankan kendaraan bermotor milik mahasiswa, maka sebenarnya cukup dilakukan dengan menunjukkan STNK pada petugas portal.

Wacana Universitas Gadjah Mada menjadi kampus educopolis berdampak pada masyarakat di sekitar wilayah kampus UGM dan mahasiswa, terutama mahasiswa baru 2011. Adanya KIK dan pendirian portal di jalan keluar-masuk setiap fakultas dan kawasan UGM dimaksudkan untuk menyeleksi kendaraan yang melintasi kawasan UGM walaupun pada akhirnya memang kebanyakan dari pengguna kendaraan adalah warga UGM sendiri. Hingga tahun 2010, KIK dibuat untuk mahasiswa UGM. Sedangkan bagi masyarakat umum yang dianggap tidak berkepentingan dikenakan disinsentif dengan biaya sebesar seribu rupiah untuk motor dan 2000 rupiah untuk mobil. Hal ini tentu saja merugikan pengguna jalan yang tidak memiliki KIK, termasuk mahasiswa baru yang notabene satu-satunya civitas akademika yang tidak diperkenankan memiliki KIK sesuai dengan ketentuan yang melarang mahasiswa baru membawa kendaraan bermotor ke kampus.

Selain produksi karcis yang nantinya menjadi timbunan sampah kertas, kekurangan dari sistem ini adalah terjadinya pelemahan sistem keamanan yang disebabkan pengalihan tenaga SKK (Satuan Keamanan Kampus) unuk menjadi petugas portal. Belum lagi uang yang terkumpul dari pola disinsentif belum jelas penggunaannya. Hal ini seharusnya menjadi salah satu bentuk tanggung jawab rektor dalam transparansi keuangan universitas.

Ketidakpuasan mahasiswa terhadap kebijakan rektorat bermuara pada pemikiran bahwa mahasiswa perlu dilibatkan pada pemilihan rektor dan berhak dalam pengawasan laporan keuangan UGM. Setengah dari jumlah koresponden menyatakan “setuju” dan 32,5% menyatakan “sangat setuju” terhadap hak suara mahasiswa dalam pemilihan rektor. Sedangkan hak mahasiswa dalam mengawasi laporan keuangan UGM dinyatakan setuju oleh sebagian besar koresponden dengan jumlah 89,2%.

Menyambut pemilihan rektor periode 2012-2017, mahasiswa memiliki pandangan tersendiri mengenai kriteria rektor ideal. Beberapa kriteria rektor yang diharapkan koresponden mahasiswa adalah “dekat dengan mahasiswa” sebanyak 41,5%, “konsisten terhadap prinsip kerakyatan” sebanyak 38,6%, “idealis” sebanyak 6,6%, “peningkatan alokasi beasiswa” sebanyak 3,2%, dan “pembangunan infrastruktur” sebanyak 2,6%.

Dari hasil yang diperoleh dalam riset ini diharapkan kebijakan-kebijakan yang berlaku di Universitas Gadjah Mada menjadi lebih baik sehingga dapat meningkatkan kualitas sistem pendidikan yang ada, sesuai dengan kebutuhan para civitas academica, dan mendukung tercapainya visi, misi, dan Tri Dharma perguruan tinggi. Mahasiswa sebagai komponen terbanyak di universitas mengharapkan kinerja rektorat sebagai pembuat kebijakan dan mitra kerja dalam proses pendidikan tinggi di UGM yang mengedepankan hubungan timbal balik yang baik dengan mahasiswa dan mempertahankan “kampus kerakyatan”nya.

(Sumber asli: http://ilmaestrola.blogspot.com/2011/12/riset-evaluasi-dan-pemilihan-rektor-ugm.html)


Transparansi Masih Menjadi Harapan Besar Bagi Mahasiswa

oleh: Amin Rois (Kadep MIT BEM KM Teknik)

Selasa (21/2) di sekretariat BEM KM UGM, tampak hadir perwakilan dari lembaga-lembaga mahasiswa dalam rangka mengadakan diskusi lanjutan tentang pilrek UGM. Rapat semula direncanakan akan diadakan di ruang sidang 3 gelanggang jam 15.30 WIB. Akan tetapi karena situasi dan kondisi akhirnya tempat diskusi akhirnya dipindah ke sekretariat BEM KM UGM dan baru dimulai setelah hampir 1 jam dari jadwal. Diskusi ini dipandu oleh Vandy Yoga Swara, Menko Internal BEM KM UGM.

Dalam permulaan diskusi, Vandy menyampaikan review mengenai hasil pertemuan diskusi antara lembaga-lembaga mahasiswa lingkup UGM yang berlangsung kamis (16/2) di UC yang dihadiri 60 orang terdiri atas perwakilan dari UKM Gelanggang, BEM Fakultas dan berbagai elemen mahasiswa. Review sbb :

  1. Adanya riset dari BEM KM UGM mengenai bagaimana kriteria calon rektor 2012-2017 yang ideal bagi mahasiswa.
  2. Adanya ruang publik berupa dialog publik/debat publik per klaster.
  3. Hearing dengan MWA juga dengan Panitia Ad Hoc (PAH) Pilrek UGM yang terdiri dari 7 orang Majelis Wali Amanat, 4 orang Majelis Guru Besar dan 4 orang Senat Akademik.
  4. Adanya pusat informasi terkini, yaitu pemanfaatan media sosial sebagai bagian dari pusat informasi bagi mahasiswa UGM.
  5. Adanya tim pendamping untuk merumuskan kontrak komitmen yang ditujukan kepada ketiga calon rektor UGM nantinya.

Di tengah-tengah diskusi, Vandy menyampaikan kabar paling terkini mengenai pilrek yaitu MWA mulai tanggal 22 Februari 2012 mulai melakukan Sosialisasi dan pengumuman Tata Cara Pendaftaran Bakal Calon, Pemilihan Calon dan Pemilihan Rektor UGM (bisa diunduh dihttp://mwa.ugm.ac.id/dev/?q=node/15). Dia juga mengatakan telah menyebarkan note agenda kegiatan pilrek UGM melalui Facebook.

Ada beberapa tanggapan dari masing-masing perwakilan lembaga terkait dengan pilrek UGM ini.

Didik Hari Purwanto, Menko Ekstenal BEM KMFT, mengatakan jangan sampai ada politisasi dalam hal pilrek UGM kali ini. Selain itu, dia mengatakan rektor yang terpilih nanti diharapkan mampu menempatkan mahasiswa pada tempatnya karena mahasiswa bukanlah komoditi yang terus diperas tetapi tidak memperoleh hak-hak lain selain pendidikan.

Dhani, KaDept Advokasi DEMA FH UGM, mengatakan DEMA sendiri tidak fokus pada siapa calon rektor nanti yang terpilih, akan tetapi melihat pada bagaimana visi dan misinya. Selain itu dia juga masih mempertanyakan bagaimana mekanisme penyampaian aspirasi mahasiswa kepada perwakilan mahasiswa di MWA, yaitu Luthfi Hamzah. Dia berharap kepada BEM KM UGM agar selalu meng-up date­ berita pilrek ini kepada BEM Fakultas.

Sementara kebanyakan dari pendapat yang disampaikan peserta diskusi, mereka mengharapkan adanya transparasi informasi dari pihak MWA atau PAH kepada mahasiswa agar mahasiswa bisa mengawal agenda 5 tahunan UGM ini.

Mengenai teknis untuk pertemuan perwakilan mahasiswa dengan PAH, Vandy membuat jadwal besok Kamis(23/2) jam 16.00 WIB. Nantinya akan ada beberapa perwakilan mahasiswa bertemu langsung dengan ketua PAH dan beberapa PAH lainnya. Akan tetapi atas usul salah seorang peserta diskusi, maka perwakilan mahasiswa ini akan bertemu terlebih dahulu dengan Luthfi Hamzah sebagai MWA dari unsur mahasiswa S1. Rencananya pertemuan dengan Luthfi ini akan diselennggarakan satu hari sebelumnya, yaitu hari Rabu(22/2) sore atau malam.

Neil, Menteri Advokasi BEM KM UGM, mengusulkan perlu dibuatnya indikator berupa skala prioritas yang diinginkan mahasiswa terhadap calon rektor UGM. Nantinya skala prioritas itulah yang akan dijadikan sebagai dasar dalam membuat kontrak politik kepada calon rektor.

BEM KM UGM sendiri akan melakukan riset melalui Kementrian Riset dan Pengembangan BEM KM UGM mengenai bagaimana kriteria calon rektor yang ideal bagi mahasiswa. Hal ini dilakukan agar semua aspirasi mahasiswa UGM dapat tersalurkan.

Setelah didiskusikan lagi maka ada satu hal penting yang menjadi kriteria rektor ideal bagi mahasiswa, yaitu mengenai transparansi seperti yang disampaikan Surya Andika, KaDept Kastrat BEM KMFT UGM.

Neil mengatakan transparansi ini bisa didasarkan pada UU Keterbukaan Informasi Publik. Menurut dia, rektor yang baru harus mampu mendorong rektor yang lama untuk transparansi keuangan, dalam hal ini utamanya seperti hasil audit BPK beberapa waktu yang lalu. Selain masalah transparansi keuangan, Neil juga menambahkan perlu adanya transparansi pendidikan. Masalah sekolah vokasi harus dapat selesaikan oleh rektor yang baru nantinya.

Selain itu ada yang mengusulkan agar nantinya rektor baru mampu menyelenggarakan ruang publik sebulan sekali yang mempertemukan pihak rektorat dengan mahasiswa agar ketika ada sesuatu yang mengganjal tidak perlu diketahui publik dahulu baru diusut. Hal ini penting karena menyangkut citra UGM itu sendiri di mata masyarakat luas.

Birokrasi juga menjadi hal yang disorot dalam diskusi ini. Panjangnya birokrasi di UGM ini sangat membebani mahasiswa dalam menyelenggarakan event. Hal yang diharapkan dari  rektor yang baru terkait hal ini nantinya akan mampu mereformasi birokrasi UGM yang panjang selama ini agar menjadi birokrasi yang lebih mudah.

Rektor yang baru nantinya juga dituntut mampu mempertahakan nilai-nilai kerakyatan dan merealisasikannya walaupun status WCRU nantinya akan melekat pada universitas tertua di Indonesia ini.

(Sumber Asli: http://www.facebook.com/notes/amin-rois/diskusi-lanjutan-pilrek-ugm-transparansi-masih-menjadi-harapan-besar-bagi-mahasi/353553547999909)


Sekelumit Tentang Pilrek UGM 2012

oleh: Luthfi Hamzah Husin (Presiden BEM KM UGM 2011)

…saya menegaskan bahwa gedung ini didirikan dengan uang rakyat, thus, sebenarnya milik rakyat, dan untuk rakyat” (Pidato Presiden Soekarno pada Pembukaan Gedung UGM di Bulaksumur, 19 Desember 1959).

Pemilihan Rektor (Pilrek) UGM yang diadakan dalam interval 5 tahun sekali, akan digelar bertepatan di tahun 2012 ini. Di tahun ini pula, Prof. Ir. Sudjarwadi, M.Eng, Ph.D. (Rektor UGM 2007-2012) akan mengakhiri masa jabatannya. Meski di hilir belum begitu terasa arus konstelasinya, namun di hulu nampaknya arus sudah sangat kencang. Jika kita bandingkan dengan “tragedi” Pilrek UGM 2007 lalu, maka ada beberapa catatan penting yang sangat mendasar dalam Pilrek UGM tahun ini.

Pertama, dari sudut pandang yuridis, terjadi perubahan pada dasar hukum penyelenggaraan UGM. Setelah tahun 2010 Undang-Undang BHP dibatalkan oleh MK karena dinilai tidak kontsitusional, maka keluarlah PP no.66 tahun 2010 yang mengatur masa transisi. Sementara itu Komisi X DPR RI, sejak pertengahan tahun 2011 lalu telah merumuskan RUU Pendidikan Tinggi yang nantinya akan mengatur status dan penyelenggaraan Pendidikan Tinggi di Indonesia. Akibat adanya perubahan tersebut, tugas terberat Majelis Wali Amanah (MWA) periode transisi (Februari 2012 – November 2013) ini adalah menyusun kembali arah kebijakan umum dan Statuta UGM. Hingga saat ini Statuta dan dasar penyelenggaraan UGM masih berlandaskan pada PP no.153 tahun 2000 tentang penetapan UGM sebagai PT BHMN serta Keputusan MWA no 12/SK/MWA/2003 tentang Anggaran Rumah Tangga (ART) UGM. Bisa jadi setelah masa transisi ini, ke depan tidak akan ada lagi MWA di UGM.

Sebagaimana kita ketahui, perubahan UGM dari PTN menjadi BHMN pada tahun 2000 dinilai banyak mencederai asas ke-UGM-an itu sendiri. Pada awal perubahan status tersebut, terdapat banyak penolakan terutama dari kalangan aktifis mahasiswa tahun 2000-an. Menurut Rudy Hantoro (2002), PT BHMN memiliki tiga kecacatan:
“Pertama, cacat yuridis, karena tidak ada UU yang menaunginya. Kedua, cacat sosiologis, karena ada komponen “objek kebijakan” yang tidak menyetujuinya, terutama mahasiswa. Ketiga, cacat historis yang dimulai dari penetapan PP 61/1999 tentang otonomi kampus yang muncul dalam kondisi negara terdesak ekonomi (desakan IMF untuk pemotongan subsidi pendidikan), lahir karena dipaksa kondisi negara tak mandiri alias terbelit.”
Hal tersebut diperkuat dengan adanya survey yang dilakukan BEM KM UGM pada tanggal 14 Februari 2005, yang menyatakan bahwa sebanyak 60,30% mahasiswa tidak setuju BHMN (Filosofi UGM, 2010). Semakin jelas bahwa perubahan status tersebut sangat bertentangan dengan asas UGM yaitu Pancasila yang diwujudkan dalam aspek kerohanian, kebangsaaan, kerakyatan, demokrasi, dan kemasyarakatan. Oleh karena itu, Pilrek UGM 2012 ini sangat menentukan nasib masa depan UGM dan negeri ini. Terutama bagaimana memastikan bahwa Rektor 5 tahun ke depan tetap pro-dengan mahasiswa dan rakyat di tengah-tengah masa transisi di UGM.

Kedua, secara politik Pilrek UGM tahun ini sangat menarik untuk dikaji. Sudah menjadi rahasia umum, para pelaku politik yang bermain dalam Pilrek UGM ini tidak hanya berasal dari ruang lingkup internal universitas saja, namun juga melibatkan pelaku-pelaku politik regional dan nasional. Terutama dalam konteks UGM yang tidak bisa dilepaskan dari aspek historis, jejaring kuasa, dan politik komunalisme. Dalam Pilrek UGM, sebagaimana PP 153 tahun 2000 tentang penetapan UGM sebagai PT BHMN dalam BAB VI pasal 10, MWA memiliki tugas di antaranya adalah untuk mengangkat dan memberhentikan Pimpinan.

MWA UGM periode transisi beranggotakan 23 orang yang terdiri unsur pemeritah, masyarakat universitas, dan masyarakat umum. Dikarenakan MWA memiliki peran yang sangat krusial dalam Pilrek, maka penting bagi kita selaku mahasiswa untuk membedah seperti apa komposisi politik di dalamnya. Secara umum, MWA sekarang terpolarisasi menjadi dua kutub ideologi (jika dirasa masih ada ideologinya). Saya sebut blok yang satu sebagai “blok H” dan blok yang kedua sebagai “blok M”. Menurut analisis saya, hampir semua anggota MWA telah terpetakan dan terpolarisasi ke dalam blok-blok tersebut. Baik blok H maupun blok M, nampaknya keduanya telah memiliki gacoan-nya masing-masing dalam Pilrek kali ini. Blok H mengklaim bahwa mereka telah memiliki setengah lebih suara di MWA, sedangkan blok M juga nampaknya memiliki suara yang bulat dan kokoh di MWA. Namun, saya masih mebaca ke mana arah suara yang akan diberikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI yang berbobot 35% itu. Hal tersebut nampaknya menjadi dilema bagi Pak Menteri dikarenakan imbangnya kekuatan masing-masing kubu dalam MWA tersebut.

Kedua kubu tersebut nampaknya cukup “serius” dalam kontestasi Pilrek kali ini. Di antara mereka, masih ada yang menyimpan dan memperhitungkan memori Pilrek tahun 2007 lalu. Kabarnya, masing-masing kubu melakukan persiapan yang sangat matang sedari jauh-jauh hari sebelum Pilrek. Mereka menggalang kekuatan di internal kampus, melalui Majelis Guru Besar (MGB), Senat Akademik (SA), Dosen non-Guru Besar, pegawai, bahkan juga mahasiswa. Konsolidasi itu masih belum mengerikan, jika dibandingkan dengan penggalangan kekuatan di eksternal kampus, melalui jaringan alumni, pejabat-pejabat daerah dan nasional, serta sejumlah tokoh masyarakat. Namun, satu-satunya kesamaan yang nampak secara umum dari kedua kubu tersebut adalah: MEREKA SAMA SEKALI TIDAK MEMBAHAS “PERIHAL MAHASISWA”!

Mari awasi dan kawal terus Pilrek UGM 2012! Hidup Mahasiswa!!

(Sumber asli: http://www.ugeem.com/2012/02/sekelumit-tentang-pilrek-ugm-2012.html)